Sabtu, 05 Juni 2010

Jalan Pikir an SutanSyahrir ( dI Kutip dariI.www.berpolitik.com )


ARTIKEahrir
Tags: PikiranPerjuangan, BungSjahrir
Sutan Sjahrir Perdana Menteri Pertama Indonesia, telah menorehkan tintas emas perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ia lahir di Padangpanjang Sumatera Barat 5 Maret 1909, dan meninggal dunia pada usia 57 tahun setelah dirawat sekian lama akibat sakit yang dideritanya. Sutan Sjahrir bukan saja sebagai founding father bersama Soekarno dan Mohamad Hatta, tetapi juga meletakan pemikiran politik yang berlandaskan gagasan anti kolonialisme, anti fasisme, dan anti feodalis
Berangkat dari gagasan itu, Sutan Sjahrir sangat menitikberatkan pada upaya-upaya melakukan pendidikan untuk rakyat. Kolonialisme bisa bertahan lama di bumi pertiwi, karena kemiskinan dan kebodohan membuatnya semakin terperdaya. Sepulangnya dari studi di Belanda tahun 1931, Sutan Sjahrir langsung bergulat dengan dunia pergerakan, dan bersama Bung Hatta mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).
Sutan Sjahrir memimpin PNI Baru organisasi yang menghimpun kaum pergerakan nasional. PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusioner kemerdekaan nasional. Ketakutan akan potensi revolusioner PNI Baru, medio Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul Papua selama setahun. Mereka lalu dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun
Pada bulan maret ini, Bung Kecil sebutan bagi Sutan Sjahrir genap sembilan puluh sembilan tahun peringatan hari kelahirannya. Menurut A. Rahman Tolleng tokoh aktivis 66, walaupun memiliki postur tubuh relatif pendek, tetapi Bung Kecil telah melahirkan raksasa-raksasa intelektual. Sebut saja misalnya, Prof. Sarbini Soemawinata, Soebadio Sastrosatomo, Prof. Soemitro Djodjohadikusumo, dan Dr. Sudjatmoko yang menjadi sumber inspirasi kaum cendekia dan para aktor politik

Tentunya, memperingati kelahiran Sutan Sjahrir bukan untuk membalikan jarum jam sejarah, apalagi pengkultusan individu. Yang lebih penting dapat menjadi media refleksi dan koreksi atas ingatan kolektif masyarakat dewasa ini. Membaca pikiran dan perjuangan Sutan sjahrir dan founding father lainnya, harus membuka kesadaran betapa kemerdekaan yang dinikmati hari ini sesungguhnya atas perjuangan dan pengorbanan jiwa raga, bukan diperoleh dengan cuma-cuma

Pandangan Politik
Sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari suasana pasca Perang Dunia (PD) II. Perang dingin antara blok timur yang dimotori Uni Sovyet-Rusia dan blok barat Amerika Serikat dengan sekutunya telah mempengaruhi dinamika politik nasional. Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, sejak semula melakukan gerakan bawah tanah non-kooperatif terhadap Jepang yang saat itu menduduki wilayah Hindia Belanda. Sementara jalan yang ditempuh Soekarno-Hatta bekerjasama dengan Jepang dalam meraih kemerdekaan nasional
Pada titik ini, timbul perbedaan pandangan mensikapi momentum proklamasi kemerdekaan. Pandangan kelompok Sjahrir, kekalahan Jepang kubu fasis oleh sekutu berdampak bahwa kemerdekaan hasil pemberian Jepang akan dianggap pemerintahan Indonesia sebagai kolaborator fasisme Jepang. Dan, sangat memalukan jika Soekarno-Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang baru merdeka kemudian diadili oleh Mahkamah Internasional. Oleh karenanya, muncul peristiwa Rengasdengklok mendorong proklamasi 17 Agustus 1945 yang menunjukan kemerdekaan nasional bukan janji yang diberikan Jepang, tetapi hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia

Pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.

Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional
Pikiran Sjahrir
Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membatu manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.
Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua
Diposting
Penegasan Sutan Sjahrir akan jalan demokrasi dan penentangan terhadap segala bentuk totalitarianisme, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sosialisme yang dimaksudnya adalah sosialisme berdasarkan kerakyatan yang mengakui kemerdekaan setiap orang untuk berpikir dan bertindak sesuai keyakinannya. Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokras

Partai Sosialis Indonesia, akhirnya bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia

Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan an-sich. Politik bukan machtsvorming dan machtsaanwending, tapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Jadi, politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.
Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, ?Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya?.
Bung, damai selalu dalam tidur panjang bersamaNya doa kami menyertaimu !
Penulis, BUDIANA IRMAWAN

Ketua Jaringan Kerja Solidaritas Kerakyatan (Jakasoka)

Dikutip Dari. W.W.W.indowebster.web.id


Sutan Syahrir : PM Indonesia pertama

* Masa jabatan : 14 November 1945 – 3 Juli 1947
* Pendahulu :Tidak ada, jabatan baru
* Pengganti : Amir Sjarifoeddin
* Partai politik : Partai Sosialis Indonesia
* Suami/Istri :Maria Duchateau, Siti Wahyunah
* Pekerjaan : Politikus

Sutan Syahrir atau juga dieja sebagai Soetan Sjahrir (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Riwayat
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam. [1] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.

si sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif –saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik. "Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Masa pendudukan Jepang
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis: “Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

Masa Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Penculikan
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.

Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.

Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Diplomasi Syahrir
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik,ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
Partai Sosialis Indonesia
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
Hobi Dirgantara dan Musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.
Akhir hidup
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
Karya :
1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
3. Perjuangan Kita, tahun 1945
4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

Akhir Lakon SutanSyahrir,Tragis(Opini) Tulisan ErwinJahja Dikompasian,Taggal 29 April 2010


3 dari 7 Kompasianer menilai Inspiratif.
Sutan Syahrir bersama PSI/Admin (pnri.go.id)
Syahrir, seharusnya tak ada orang Indonesia yang berani menyangsingkan jasa-jasanya untuk negeri ini. Diplomasi Sang Perdana Menteri Pertama republik ini di pentas internasional menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan pertama di dunia yang masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Dia Pejuang kemanusian, diplomat ulung, demokrat sejati yang mengakhiri lakon hidupnya dengan kisah tragis. Entah kenapa kisah-kisah orang besar negeri ini selalu saja berujung dengan cerita tragis, mengiris hati yang selayaknya tidak mereka dapatkan setelah kebesaran dan keagungan mereka persembahkan untuk Indonesia. Lihat saja akhir cerita Tan Malaka yang ditembak mati tentara republik, Soekarno yang meninggal dalam kesendirian dan keterasingan, demikian juga dengan Hatta hingga akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diinginkannya, seorang mantan Wakil Presiden tidak punya uang untuk sekedar beli sepatu bermerk.
Syahrir meninggal dunia di Zurich, Swiss, tanggal 9 April 1966 dengan status tahanan politik mantan teman seperjuangannya sendiri, Soekarno. Apakah politik itu kejam, menutup mata dan hati hingga tak mengenal kawan lama dan saudara sendiri ? Tentu saja jawabannya tidak. Politik tidak kejam, tapi kekuasaan yang menjadi candu membuat dia menjadi kejam. Kecanduan akan kekuasaan membuat lupa menjejakan kaki di bumi. Mau bukti ? Bukankah Soebandrio itu dulu adalah pengikut Syahrir, pada tahun 1945 orang ini adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Syahrir. Tapi demi memenuhi ambisi politik yang ujungnya kekuasaan, Soebandrio menjelma menjadi lawan politik Syahrir.
Begini ceritanya, ketika itu 18 Agustus 1961 berkumpulah orang-orang besar yang berseberangan dengan Soekarno di Bali. Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Moh.Roem, Sultan Hamid II dan Soebadio Sastrosatomo berada disana atas undangan Anak Agung Gde Agung untuk menghadiri upacara ngabenan ayahnya. Tapi pertemuan ini akhirnya disebut sebagai konspirasi persekongkolan subversif oleh Soebandrio, kala itu dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Pusat Intelijen. Bahkan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Amerika, Arnold Brackman, Soebandrio menyebut: “Tidak ada tempat bagi orang-orang seperti itu”. Laporan-laporan intelijen diolah Soebandrio, dan dituduhlah orang-orang besar itu ingin melawan pemerintah. Selanjutnya, dini hari 16 Januari 1962 Sutan Syahrir ditangkap. Kemudian berturut-turut ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastosatomo dan Sultan Hamid II. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh.Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. Penangkapan tokoh-tokoh itu mengisyaratkan Soekarno paranoid dan trauma akan kejadian PRRI-Permesta, ketika itu dituduh Masyumi dan PSI lah berada dibelakangnya. Apalagi masa itu Soekarno sudah mulai menemukan dirinya menuju kearah otoritarian yang cendrung diktator. Memanfaatkan kondisi ini, Soebandrio tampaknya tidak menyiakan kesempatan demi ambisi politiknya.
Syahrir memang kuat, ketika di penjara Madiun pernah mengalami hyper tension yang sangat tinggi. Namun mungkin karena Syahrir telah terbiasa hidup dalam penderitaan penjara sejak masa kolonial, hal ini tidak membuatnya ambruk. Padahal menurut dokter jika hal ini terjadi pada orang lain, mungkin telah lama ambruk. Kemudian Syahrir dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto untuk mendapat perawatan. Setelah membaik, kemudian dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan lalu dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Di Rumah Tahanan Militer inilah pada suatu malam, Syahrir pernah ditemukan terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Tentara tidak segera memberikan pertolongan medis, keesokan harinya barulah dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi. Operasi gagal dan Syahrir tidak lagi bisa bicara.
Tanggal 21 Juli 1965 Syahri berangkat ke Zurich, Swiss untuk berobat setelah mendapat izin dari Soekarno. Meski diizinkan berobat ke luar negri dan biaya perobatan ditanggung pemerintah tapi status Syahrir tetap sebagai tahanan. Setelah bertahan selama 8 bulan lebih, akhirnya Syahrir menghembuskan nafas terakhir di luar negri. Padahal diyakini bahwa dirinya sangat ingin menghembuskan nafas terakhir di negeri yang telah dibesarkannya sekaligus membesarkan namanya ini.
Hatta, sahabat seperjuangannya dalam pidato perpisahan di TMP Kalibata menegaskan bahwa Perdana Menteri Termuda di Dunia (mungkin sampai saat ini rekor itu masih di tangan Syahrir) ini meninggal karena korban tirani :
Sutan Syahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan.
Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang Merdeka.
Syahrir sang pejuang kemanusiaan, dipuji dan dicintai bahkan oleh tokoh-tokoh yang berpikiran berseberangan dengannya. Lihat saja betapa Panglima Besar Sudirman yang termasuk pendukung berat Tan Malaka memuji The Smiling Diplomat sebagai pemimpin yang jujur dan bercita-cita luhur. Padahal Sudirman dan Tan Malaka termasuk tokoh yang menolak jalur diplomasi melawan Belanda, sementara Syahrir lebih memilih jalur diplomasi. Tapi beliau (Sudirman) pada saat-saat terakhirnya berpesan pada Sultan Hamengku Buwono IX, “Jangan lupakan Syahrir. Berjuanglah bersama dia, untuk cita-cita Indonesia”.
Syahrir sang pemberani, bahkan tetap tertawa terbahak ketika seorang opsir Belanda menodongkan pistol ke wajahnya. Tidak pernah takut ditangkap dan dibuang Belanda ke tempat-tempat yang luar biasa mengerikan. Bayangkan bagaimana dia bertahan dalam usia 25 tahun diasingkan Belanda di Nieuw Guinea di tengah hutan belantara, dengan sungai penuh buaya dan nyamuk malaria.
Syahrir sang pahlawan besar, tragis harus mengakhiri lakon hidup yang fantastis sebagai tahanan dari negeri yang diperjuangkannya.
Jakarta, 29 April ( dikutip Dari Kompasiana )

Jumat, 04 Juni 2010

Ketet Photo : SutanSayahrir ( Bung Kecil ),Bung Karno,Bung Hatta,Kekuatan Orang Ini Melebihi Kekuatan Atom Atom Nagasaki Dan Nirosima

sutansyahrir Dalam berkampaye dalam pemilu 55 No.2


Keterangan Gambar : Nohammmad Hatta dan SutanSyahrir

15 Agustus 1945 Bagia an 1


Tatkala pemerintah kolonial Belanda menyerah pada balatentara Jepang, Soekarno pun dibebaskan dari tempat terakhir ia diasingkan oleh Belanda. Setibanya di Jakarta, Moh. Hatta dan Sutan Syahrir yang sudah lebih dahulu kembali ke Jawa, datang berkunjung. Mereka membicarakan apa yang akan mereka lakukan bagi kemerdekaan Indonesia di masa pendudukan Jepang. Diperoleh kesepakatan bahwa Soekarno dan Moh. Hatta akan menerima tawaran bekerja bersama Jepang, sedangkan Sutan Syahrir akan bergerak di bawah tanah. Perbedaan pola kerja tersebut menyebabkan Syahrir yang rajin memonitor siaran radio luar negeri di tempat ia bersembunyi, lebih cepat mengetahui situasi perang Pasifik dari hari ke hari, termasuk bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika di Hiroshima (6 Agustus 1945), Uni Soviet menyatakan perang kepada Jepang (8 Agustus), Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika (10 Agustus) dan ultimatum Amerika agar Jepang menyerah kepada Sekutu sebelum bom atom yang ketiga akan dijatuhkan lagi . Syahrir menyuruh Subadio Sastrosatomo meneruskan berita-berita tersebut kepada semua teman yang dekat, disertai analisa bahwa dalam waktu dekat Jepang pasti akan menyerah. Salah satunya kepada dr. Soedarsono di Cirebon.
http://putramalaka.files.wordpress.com/2009/07/tan_malaka_a1015a.jpg?w=216&h=336Syahrir dari awal menyadari bahwa figur Soekarno telah mendapat tempat tersendiri di hati rakyat Indonesia. Dia pulalah yang mengingatkan hal itu kepada Tan Malaka tatkala menyangsikan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Syahrir mempersilakan Tan Malaka berkeliling ke seluruh pelosok negeri bila kurang mempercayainya. Syahrir pun melihat sosok Soekarno sebagai figur yang paling tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dianggapnya terkotori oleh tangan Jepang. Maka iapun menunggu kedatangan Soekarno dan Moh. Hatta dari memenuhi undangan Marsekal Terauchi, di Dalat, Saigon. Mereka baru tiba kembali tanggal 14 Agustus menjelang tengah hari. Syahrir mencoba membujuk Moh. Hatta terlebih dulu yang sudah lama dikenalnya sewaktu studi di Belanda, dan bersama-sama pula mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno dibubarkan oleh Pengurusnya karena Belanda menangkapi tokoh-tokoh penting PNI. Moh. Hatta juga sudah merasakan gelagat Jepang akan bertekuk-lutut tatkala di berada Dalat, dan dengan Soekarno telah sepakat untuk mempercepat sidang PPKI yang semula direncanakan tanggal 25 Agustus. Ia terkejut mendengar berita dari Syahrir bahwa ternyata begitu cepat Jepang menyerah kepada Sekutu. Namun Moh. Hatta tidak sepakat proklamasi kemerdekaan diucapkan dengan meninggalkan PPKI, dan ternyata Soekarno yang dikunjungi oleh Hatta dan Syahrir juga menolak meninggalkan PPKI dan akan mengecek kebenaran berita tersebut ke Gunseikanbu esok harinya tanggal 15 Agustus. Syahrir sangat kecewa tetapi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.