Sabtu, 05 Juni 2010

Akhir Lakon SutanSyahrir,Tragis(Opini) Tulisan ErwinJahja Dikompasian,Taggal 29 April 2010


3 dari 7 Kompasianer menilai Inspiratif.
Sutan Syahrir bersama PSI/Admin (pnri.go.id)
Syahrir, seharusnya tak ada orang Indonesia yang berani menyangsingkan jasa-jasanya untuk negeri ini. Diplomasi Sang Perdana Menteri Pertama republik ini di pentas internasional menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan pertama di dunia yang masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Dia Pejuang kemanusian, diplomat ulung, demokrat sejati yang mengakhiri lakon hidupnya dengan kisah tragis. Entah kenapa kisah-kisah orang besar negeri ini selalu saja berujung dengan cerita tragis, mengiris hati yang selayaknya tidak mereka dapatkan setelah kebesaran dan keagungan mereka persembahkan untuk Indonesia. Lihat saja akhir cerita Tan Malaka yang ditembak mati tentara republik, Soekarno yang meninggal dalam kesendirian dan keterasingan, demikian juga dengan Hatta hingga akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diinginkannya, seorang mantan Wakil Presiden tidak punya uang untuk sekedar beli sepatu bermerk.
Syahrir meninggal dunia di Zurich, Swiss, tanggal 9 April 1966 dengan status tahanan politik mantan teman seperjuangannya sendiri, Soekarno. Apakah politik itu kejam, menutup mata dan hati hingga tak mengenal kawan lama dan saudara sendiri ? Tentu saja jawabannya tidak. Politik tidak kejam, tapi kekuasaan yang menjadi candu membuat dia menjadi kejam. Kecanduan akan kekuasaan membuat lupa menjejakan kaki di bumi. Mau bukti ? Bukankah Soebandrio itu dulu adalah pengikut Syahrir, pada tahun 1945 orang ini adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Syahrir. Tapi demi memenuhi ambisi politik yang ujungnya kekuasaan, Soebandrio menjelma menjadi lawan politik Syahrir.
Begini ceritanya, ketika itu 18 Agustus 1961 berkumpulah orang-orang besar yang berseberangan dengan Soekarno di Bali. Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Moh.Roem, Sultan Hamid II dan Soebadio Sastrosatomo berada disana atas undangan Anak Agung Gde Agung untuk menghadiri upacara ngabenan ayahnya. Tapi pertemuan ini akhirnya disebut sebagai konspirasi persekongkolan subversif oleh Soebandrio, kala itu dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Pusat Intelijen. Bahkan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Amerika, Arnold Brackman, Soebandrio menyebut: “Tidak ada tempat bagi orang-orang seperti itu”. Laporan-laporan intelijen diolah Soebandrio, dan dituduhlah orang-orang besar itu ingin melawan pemerintah. Selanjutnya, dini hari 16 Januari 1962 Sutan Syahrir ditangkap. Kemudian berturut-turut ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastosatomo dan Sultan Hamid II. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh.Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. Penangkapan tokoh-tokoh itu mengisyaratkan Soekarno paranoid dan trauma akan kejadian PRRI-Permesta, ketika itu dituduh Masyumi dan PSI lah berada dibelakangnya. Apalagi masa itu Soekarno sudah mulai menemukan dirinya menuju kearah otoritarian yang cendrung diktator. Memanfaatkan kondisi ini, Soebandrio tampaknya tidak menyiakan kesempatan demi ambisi politiknya.
Syahrir memang kuat, ketika di penjara Madiun pernah mengalami hyper tension yang sangat tinggi. Namun mungkin karena Syahrir telah terbiasa hidup dalam penderitaan penjara sejak masa kolonial, hal ini tidak membuatnya ambruk. Padahal menurut dokter jika hal ini terjadi pada orang lain, mungkin telah lama ambruk. Kemudian Syahrir dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto untuk mendapat perawatan. Setelah membaik, kemudian dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan lalu dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Di Rumah Tahanan Militer inilah pada suatu malam, Syahrir pernah ditemukan terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Tentara tidak segera memberikan pertolongan medis, keesokan harinya barulah dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi. Operasi gagal dan Syahrir tidak lagi bisa bicara.
Tanggal 21 Juli 1965 Syahri berangkat ke Zurich, Swiss untuk berobat setelah mendapat izin dari Soekarno. Meski diizinkan berobat ke luar negri dan biaya perobatan ditanggung pemerintah tapi status Syahrir tetap sebagai tahanan. Setelah bertahan selama 8 bulan lebih, akhirnya Syahrir menghembuskan nafas terakhir di luar negri. Padahal diyakini bahwa dirinya sangat ingin menghembuskan nafas terakhir di negeri yang telah dibesarkannya sekaligus membesarkan namanya ini.
Hatta, sahabat seperjuangannya dalam pidato perpisahan di TMP Kalibata menegaskan bahwa Perdana Menteri Termuda di Dunia (mungkin sampai saat ini rekor itu masih di tangan Syahrir) ini meninggal karena korban tirani :
Sutan Syahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan.
Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang Merdeka.
Syahrir sang pejuang kemanusiaan, dipuji dan dicintai bahkan oleh tokoh-tokoh yang berpikiran berseberangan dengannya. Lihat saja betapa Panglima Besar Sudirman yang termasuk pendukung berat Tan Malaka memuji The Smiling Diplomat sebagai pemimpin yang jujur dan bercita-cita luhur. Padahal Sudirman dan Tan Malaka termasuk tokoh yang menolak jalur diplomasi melawan Belanda, sementara Syahrir lebih memilih jalur diplomasi. Tapi beliau (Sudirman) pada saat-saat terakhirnya berpesan pada Sultan Hamengku Buwono IX, “Jangan lupakan Syahrir. Berjuanglah bersama dia, untuk cita-cita Indonesia”.
Syahrir sang pemberani, bahkan tetap tertawa terbahak ketika seorang opsir Belanda menodongkan pistol ke wajahnya. Tidak pernah takut ditangkap dan dibuang Belanda ke tempat-tempat yang luar biasa mengerikan. Bayangkan bagaimana dia bertahan dalam usia 25 tahun diasingkan Belanda di Nieuw Guinea di tengah hutan belantara, dengan sungai penuh buaya dan nyamuk malaria.
Syahrir sang pahlawan besar, tragis harus mengakhiri lakon hidup yang fantastis sebagai tahanan dari negeri yang diperjuangkannya.
Jakarta, 29 April ( dikutip Dari Kompasiana )